Minggu, 15 Maret 2015

AWK PENDEKATAN SARA MILLS, Mustakim



ANALISIS WACANA KRITIS
(PENDEKATAN SARA MILLS)
Dosen Pengampu: DR. Gusnawati, M. Hum

Oleh:
Mustakim
P0500221402
Program Studi Magister Linguistik
Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin
2015
Judul: Sebulan, Gadis Jepang ini disekap dan jadi budak seks

A.    Pengantar
Isu perempuan, gender dan feminisme pada era tahun 1980-an belum dianggap penting atau perlu ada untuk dibahas dalam lingkungan perguruan tinggi dan di masyarakat kita. Kurung waktu tersebut isu perempuan yang banyak dibahas adalah kodrat wanita dan mitra sejajar.Saat ini, gender, perempuan dan kesetaraan gender yang kesemuanya menyatu dalam wacana gerakan feminisme telah mengambil tempatnya tersendiri dalam masyarakat utamanya dalam lingkungan akademik.Kondisi ini turut mengantarkan gejolak gerakan feminisme sebagai suatu pendekatan teoritis juga tidak lagi dianggap sebagai hal tak membumi atau asing.
Seorang feminis Indonesia pernah berkomentar bahwa esensi gerakan feminisme adalah perjuangan agar perempuan dan laki-laki tidak didiskriminasi di semua bidang kehidupan….(Saparinah Sadli: 2010).Dalam pandangan beliau jelas terlihat bahwa terdapat hal yang salah dan harus dikoreksi serta direskonstruksi dalam kehidupan bermasyarakat kita khususnya relasi dan perlakuan system sosial atas perempuan.

 
Anshori (1997) bahkan dengan jelas melihat gerakan feminsime sebagai sebuah ideologi jati diri perempuan.Hal ini ditekankan dengan mencoba mengayuh biduk feminisme dan menyandingkannya dengan pemberdayaan, budaya tandingan, pemahaman aliran barat hingga konsep Islam. Menggeliatnya wacana gerakan feminisme mulai pada awal tahun 90-andi dunia terlebih lagi di Indonesia tidak lain karena realitas masyarakat yang begitu mencengangkan. Betapa tidak, Hillary Clinton dalam KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1996 menunjukkan data bahwa 70% dari 1,2 milyar manusia miskin adalah perempuan, sekitar 550 juta pekerja wanita mendapatkan penghasilan perkapita di bawah standar kemiskinan PBB 370 dollar. Yang lebih mengerikan lagi adalah, terdapat 2 juta wanita di dunia yang telah menjadi korban pelecehan seksual.
Selama lebih dari satu dekade berlalu, terasa dan terlihat dengan jelas bagaimana media menjadi bagian dari setiap bentuk perubahan, pencitraan hingga pembunuhan karakter.Media yang kini bermetamorfosis dari ruang yang tak berjarak menjadi ruang dimana kita hidup di dalamnya.Media tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga menjadi agen produksi dan reproduksi realitas.Bertemali dengan hal ini, media telah menjadi titik terjaga kritis kita untuk memahami bagaimana setiap sesuatu dibentuk dan dimaknai.Demikian halnya jika disinggungkan dengan wacana perempuan dimana media menjadi ruang-ruang produksi dan reproduksi citra dan pemaknaan atas diri perempuan.
Terkait dengan hal itu, maka tulisan ini akan melihat bagaimana wacana perempuan  diproduksi dan direproduksi oleh media. Wacana tersebut akan dilihat dari sudut padangan feminsime dalam hal ini menggunakan analisis wacana kritis pandangan Sara Mills yang kental dengan pemahaman feminismenya.Hal ini cukup menarik karena feminisme merupakan sebuah gerakan yang mendapatkan ruh perjuangannya dari segala hal yang terkait dengan perempuan sementara media menjadi tempat bertumbuhnya segala wacana, apakah wacana tersebut berpihak kepada agenda perjuangan feminis atau malah melanggengkan wacana yang anti feminis.
Sehubungan dengat topik dalam tulisan ini, penulis memilih sebuah wacana dari media daring (Liputan 6 tanggal 6 Januari 2015) yang mengetengahkan berita sosok gadis jepang dengan judul berita “Sebulan, Gadis Jepang Disekap dan Jadi Budak Seks”. Berita tersebut ditulis oleh Aitya Eka Prawira, seorang kontributor liputan enam di New Delhi, India.Penulis tergelitik untuk menyorot isi berita tersebut dengan pendekatan feminisme Sara Mills karena (1) Kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, (2) Kasus kekerasan terjadi di negara yang bukan negara korban, (3) Judul berita yang menyematkan kata ‘disekap’ dan ‘budak’ yang memiliki muatan semantis yang lebih dari sekedar bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan.
B.     Fokus Tulisan
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka tulisan ini akan membagi dua bagian penting pokok yang akan dikaji yakni yang pertama adalah menguak bagaimana “gadis jepang” direpresentasikan dan yang kedua bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan menurut berita tersebut.
C.    Konsep Teoritis
Secara metodologis, teori wacana Sara Mills banyak mengadopsi pandangan Foucault.Mills mengadopsi teori wacana Foucault sebagai ground teori dalam analisis wacana kritis.Pendekatan Foucault ini yang dikenal dengan Analisis Wacana Pendekatan Prancil (French Discourse Analysis). Sara Mills dikenal sebagai feminis menunjukkan analisisnya yang menggambarkan relasi kekuasaan dengan ideologi. Jika ditilik kembali pada pendekatan Foucault, ditemukan suatu pandangan yang menekankan pada aspek kekuasaan yang disalurkan melalui hubungan sosial, dengan memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi prilaku seperti baik dan buruk sebagai bentuk pengendalian perilaku.
Sara Mills melihat sebuah wacana pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Dalam artian siapa yang menjadi subyek dari penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan (Darma: 2014).
Terkait dengan posisi aktor dalam teks, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana subyek-obyek menempatkan representasi sebagai bagian terpenting.Dengan demikian hal ini mengarah kepada bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan dan peristiwa direpresentasikan dengan teknik tertentu dalam wacana dan menghadirkan makna kepada publik.
Pergulatan Sara Mills seputar teori wacana menjadikan wacana feminisme sebagai pusaran kajiannya, Sara Mills menerabas isu-isu perempuan seperti bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, gambar, foto serta dalam berita. Hal ini yang menjadi dasar sehingga pendekatan teori wacana Sara Mills dikenal pula dengan wacana persektif feminis.
Selain memusatkan perhatian pada aktor dalam teks, Sara Mills juga menyorot aspek pembaca dan penulis direpresentasikan. Keterkaitannya dengan wacana adalah bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam alur teks. Kondisi ini memengaruhi bagaimana teks akan dipahami dan menghasilkan suatu keadaan dimana ada pihak yang dianggap legitimit dan ilegitimit (Darma, 2014).
Titik perhatian dari wacana yang berspektif feminis adalah menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan perempuan. Perempuan cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah dan marginal dibandingkan dengan laki-laki. Sara Mills ingin mengunjukkan bagaimana perempuan digambarkan dan dimarginalisasikan dalam teks berita, dan bagaimana bentuk dan pola permarginalan tersebut dilakukan. Mills menambahkan bahwa teks merupakan suatu hasil negosisasi antara penulis dan pembaca, dengan demikian maka pembaca tidak dianggap semata-mata sebagai penerima teks atau informasi tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana terihat dalam teks.
Secara teknis, metode Sarah Mills dapat digambarkan dengan melihat bahwa pada tingkat posisi subyek-obyek mengandung analisis mengenai bagaimana peristiwa dilihat, dari sudut pandang apa peristiwa tersebut dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subyek) dan siapa yang diposisikan sebagai obyek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor memiliki kesempatan menampilkan dirinya sendiri, gagasannya atau kehadirannya, ditampilkan oleh kelompok atau orang lain. Pada tingkat penulis-pembaca mengandung analisis berkaitan dengan bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks.Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan dan kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi dirinya.
Terkait dengan kajian wacana, maka kita tidak dapat terlepas dari media.Seringkali istilah media dan berita digunakan secara bergantian ketika membicarakan tentang wacana dan media.Menurut Cotter (2001) wacana media berita melingkupi dua komponen penting yakni; berita, teks lisan atau tertulis; dan proses yang terlibat dalam menghasilkan teks. Dimensi pertama dari teks tersebut telah menjadi fokus utama dari kebanyakan peneliti media hingga hari ini, khususnya sebagai teks yang mengkode nilai-nilai dan ideologi yang memberikan dampak dan mencerminkan dunia yang lebih luas.Dimensi kedua adalah proses – yang melibatkan norma-norma dan rutinitas masyarakat dari praktisi berita.
D.    Data
Sebulan, Gadis Jepang Ini Disekap dan Jadi Budak Seks
By Aditya Eka Prawira  on 06 Jan 2015 at 19:30 WIB

Liputan6.com, New Delhi - Kekerasan seksual terus terjadi di India. Baru-baru ini, seorang turis perempuan berusia 22 tahun asal Jepang dijadikan budak seks selama satu bulan di ruang bawah tanah yang berada di dekat kuil Buddha yang cukup terkenal di sana.
Kejadian nahas ini bermula saat pada November 2014. Perempuan muda itu tiba di Kolkata, ibu kota negara bagian Bengal Barat, dan mendapat `sambutan hangat` dari tiga orang pemuda lokal di sana.

Perempuan itu tak menaruh curiga saat ketiganya menawarkan tumpangan dan meminta uang senilai US$ 1.200 untuk membawanya pergi ke kuil suci Bodh Gaya di negara bagian Bihar, karena  para pemuda itu faseh sekali berbahasa Jepang.

Tragis, sesampainya di lokasi tujuan, perempuan muda itu diserahkan ke dua pria yang diketahui kakak-beradik yang kemudian mengurungnya di ruangan bawah tanah, dan diperkosa berulang kali selama satu bulan.

Setelah satu bulan dijadikan budak seks, turis Jepang itu berhasil melarikan diri dari Gaya dan menuju kota suci Hindu Varanasi, di mana dia bertemu dengan sejumlah turis asal Jepang yang membantunya menghubungi konsulat di Kolkata.

"Ketika dia datang kepada kami dan mengetahui kejadian yang menimpahnya, kami membantu dia mendaftarkan laporannya ke pihak berwajib," kata Konsulat Jenderal Jepang di Kolkata, Kazumi Endo, seperti dikutip Business Insider, Selasa (6/1/2015)

Meski pada Jumat (2/1/2015) kedua kakak-beradik yang bekerja sebagai pemandu wisata dan juga tiga pria lainnya telah ditangkap pihak kepolisian Kolkata, namun keluarga mereka membantah kalau mereka ikut memerkosa turis Jepang tersebut. Maka itu, dia pun meminta untuk dilakukan visum terhadap korban.

"Kami juga ingin korban diperiksa secara medis, untuk membuktikan bahwa saudara-saudara saya tidak bersalah," kata pria yang diketahui bernama Samina Khatoon.

E.     Pembahasan
Pembahasan ini akan dimulai dengan menyorot judul berita dengan memilih kata-kata tertentu yang memiliki beban semantis pada isi berita selanjutnya. Kontributor memilih judul berita dengan menulis “Sebulan, Gadis Jepang Ini Disekap dan Jadi Budak Seks.”Dari judul ini kami memilih tiga kata yakni, sebulan, disekap dan budak.Dari strategi pemilihan kata yang disematkan pada judul tergambar bagaimana aktor dipentaskan dalam berita dimana semua diksi yang digunakan mengacu kepada korban (dalam hal ini perempuan dalam berita tersebut).
Kata ‘sebulan’ menekankan pada jangka waktu atau durasi yang menggabarkan keadaan yang ingin ditampilkan kontributor dari korban sebagai suatu masa yang relatif tidak singkat untuk sebuah tindakan asusila.Penulis ingin menyampaikan suatu rentang waktu yang menggabarkan siksaan fisik dan psikis yang begitu berat dan lama.Jangka waktu ‘sebulan’ itu cukup menggugah kesadaran manusiawi kita mengingat korban tersebut adalah turis dimana waktu yang digunakan oleh seorang turis untuk berlibur biasanya dalam hitungan bulan.Dengan demikian jika waktu ‘sebulan’ dilewati dalam tindakan kekerasan maka waktu yang seharusnya dilalui untuk mendapatkan kesenangan menjadi waktu yang tak terperikan pada turis Jepang tersebut.
Penggunaan kata ‘disekap’ pada judul semakin menguatkan makna tindakan represif mental dan fisik.Kata disekap ini memiliki hubungan kohesif dengan kata ‘sebulan’ dan ‘budak’.Frasa ‘budak seks’ menyulut makna yang dibebani oleh perilaku purba manusia pra-pradaban.Yang kami maksudkan dengan perilaku purba adalah bahwa praktek-praktek perbudakan itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengenal penghargaan atas kehidupan orang lain, kolonialisasi hingga berujung pada ketidakhormatan kelompok lain atas ras tertentu.
Budak seks mengacu kepada perlakukan seksual semena-mena terhadap lawan jenis kelamin yang dipenuhi dengan tindakan represif, dehumanisasi, serta keyakinan bahwa korban yang dijadikan budak ini tidak memiliki hak-hak yang sama dengan yang dimiliki oleh pelaku tindakan perbudakan tersebut.Dengan demikian kata ‘sebulan, disekap, dan budak seks’ menjadi legalitas atas bentuk pelecehan seksual yang menjadikan gadis Jepang ini sebagai korban yang divisualisasikan dari sudut pandang penulis.
Selanjutnya, aktor yang menjadi subyek dari berita ini adalah “gadis Jepang’ sementara konteks berita adalah New Delhi, India. Dari strategi wacana yang digunakan oleh penulis terlihat bahwa “Gadis Jepang” ini yang menjadi obyek penceritaan, hal ini terbukti dengan penggunaan pemarkah-pemarkah seperti: seorang turis perempuan, dijadikan, perempuan (muda) itu, membawanya pergi, mengurungnya, dia, dan turis Jepang tersebut.
Teks yang menjadi media berita ini bias dalam menampilkan perempuan. Perempuan (gadis jepang) ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah dan memicu pandangan yang marginal. Hal ini terlihat pada proses penggambaran yang dilakukan oleh penulis dalam teks teperti pada kutipan:
“Perempuan itu tidak mengaruh curiga saat ketiganya menawarkan tumpangan dan meminta uang senilai US$ 1.200 untuk membawanya pergi ke kuil suci Bodh Gaya di negara bagian Bihar, karena  para pemuda itu fasih sekali berbahasa Jepang.”

Pada bagian ini, gadis Jepang tersebut dianggap lemah dan bersalah karena telah mempercayai atau tidak menaruh curiga pada orang yang baru dikenalnya apalagi ketiga orang tersebut (laki-laki) fasih dalam berbahasa Jepang.Perempuan tersebut menganggap bahwa dengan kesamaan bahasa yang digunakan maka dapat terjadi interaksi yang lebih bersahabat dan jauh dari prasangka jahat. Dengan pemakaian bahasa yang sama, mengingat bahasa mengandung ideologi dibaliknya, maka bahasa ini juga yang digunakan untuk melemahkan posisi perempuan dalam kasus ini untuk membuat pencitraan yang baik didepan gadis perempuan itu.
Bukti lain yang menjadi ciri bahwa perempuan dalam berita ini sebagai obyek penceritaan dapat kita amati pada kutipan berita paragraf 6 yaitu:
"Ketika dia datang kepada kami dan mengetahui kejadian yang menimpahnya, kami membantu dia mendaftarkan laporannya ke pihak berwajib," kata Konsulat Jenderal Jepang di Kolkata, Kazumi Endo, seperti dikutip Business Insider, Selasa (6/1/2015).

Pesan inti pada kutipan diatas merujuk kepada paragraph sebelumnya, yakni paragraph 5. Paragraph 6 merupakan informasi yang terjadi pada peristiwa yang diceritakan pada paragraph lima oleh korban namun untuk mengetahui peristiwa tersebut dimunculkan aktor lain, bukan korban sendiri yang memaparkan pandangannya atas apa yang dialaminya.
Sampai pada bagian ini dapat ditemukan bahwa teks yang diproduksi melalui paragraph pada berita yang digunakan sebagai contoh ini sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada obyek (korban) tindak kekerasan seksual untuk menampilkan diri dan gagasannya dalam teks/berita. Semua alur peristiwa dilakukan oleh subyek (pencerita/penulis) untuk merepresentasikan obyek dalam berita itu.
Pada bagian akhir ditemukan bahwa bukti kejahatan seksual ternyata tidak cukup dengan hadirnya korban yang melapor, namun diperlukan bukti lain berupa hasil visum untuk membuktikan suatu bentuk kejahatan pada sebuah peristiwa. Mari kita lihat pada pargaraf terkahir dari berita tesebut terdapat kalimat:
"Kami juga ingin korban diperiksa secara medis, untuk membuktikan bahwa saudara-saudara saya tidak bersalah,"

Dari kalimat ini terlihat bentuk perspektif yang melemahkah posisi perempuan bahwa meskipun sudah terdapat bukti tindak kekerasan seksual yakni korban dan pelaku, diperkuat oleh laporan dan testimoni korban, namun harus dibuktikan secara medis dan yang terpenting adalah membuktikan bahwa para tersangka tersebut tidak bersalah.
Dengan melihat pada keseluruhan bagunan wacana dalam berita ini, maka posisi penulis merupakan subyek (pencerita) pada berita ini sementara posisi pembaca tidak disertakan atau ekslusif, dimana tidak ditemukan hal-hal atau data yang mendukung keterlibatan pembaca dalam teks yang dihasilkan.
F.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Bahwa teks mengalami bias dalam merepresentasikan perempuan dalam teks berita daring “Sebulan, Gadis Jepang Ini disekap dan jadi Budak Seks.”
2.      Marginalisasi perempuan terwujud dalam bentuk pelemahan posisi perempuan misalnya, ketika perempuan bepergian sendirian, diperlakukan dengan ramah (pada awalnya) dan penggunaan bahasa yang sama.
3.      Tindak kekerasan terhadap perempuan menjadi agenda gerakan feminis yang bertujuan untuk meningkatkan rasa aman terhadap perempuan itu sendiri.
Referensi
Anshori, S. Dadang (Ed). 1997. Membincangkan Feminisme. Pustaka Hidayah. Bandung
Darma, Yoce Aliah. 2014. Analisis Wacana Kritis. Refika Aditama. Bandung.
Ibrahim, Abdul Syukur (Ed). 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
Illich, Ivan. 2007. Matinya Gender. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sadli, Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara. Kompas Media Nusantara. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar