ANALISIS WACANA KRITIS
(PENDEKATAN SARA MILLS)
Dosen Pengampu: DR. Gusnawati, M. Hum
Oleh:
Mustakim
P0500221402
Program Studi Magister Linguistik
Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin
2015
Judul: Sebulan, Gadis Jepang ini disekap
dan jadi budak seks
A.
Pengantar
Isu perempuan, gender dan
feminisme pada era tahun 1980-an belum dianggap penting atau perlu ada untuk
dibahas dalam lingkungan perguruan tinggi dan di masyarakat kita. Kurung waktu
tersebut isu perempuan yang banyak dibahas adalah kodrat wanita dan mitra
sejajar.Saat ini, gender, perempuan dan kesetaraan gender yang kesemuanya menyatu
dalam wacana gerakan feminisme telah mengambil tempatnya tersendiri dalam
masyarakat utamanya dalam lingkungan akademik.Kondisi ini turut mengantarkan
gejolak gerakan feminisme sebagai suatu pendekatan teoritis juga tidak lagi
dianggap sebagai hal tak membumi atau asing.
Seorang feminis Indonesia
pernah berkomentar bahwa esensi gerakan feminisme adalah perjuangan agar
perempuan dan laki-laki tidak didiskriminasi di semua bidang
kehidupan….(Saparinah Sadli: 2010).Dalam pandangan beliau jelas terlihat bahwa
terdapat hal yang salah dan harus dikoreksi serta direskonstruksi dalam
kehidupan bermasyarakat kita khususnya relasi dan perlakuan system sosial atas
perempuan.
Anshori (1997) bahkan
dengan jelas melihat gerakan feminsime sebagai sebuah ideologi jati diri
perempuan.Hal ini ditekankan dengan mencoba mengayuh biduk feminisme dan
menyandingkannya dengan pemberdayaan, budaya tandingan, pemahaman aliran barat
hingga konsep Islam. Menggeliatnya wacana gerakan feminisme mulai pada awal
tahun 90-andi dunia terlebih lagi di Indonesia tidak lain karena realitas
masyarakat yang begitu mencengangkan. Betapa tidak, Hillary Clinton dalam KTT
Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1996 menunjukkan data bahwa 70% dari 1,2
milyar manusia miskin adalah perempuan, sekitar 550 juta pekerja wanita
mendapatkan penghasilan perkapita di bawah standar kemiskinan PBB 370 dollar.
Yang lebih mengerikan lagi adalah, terdapat 2 juta wanita di dunia yang telah
menjadi korban pelecehan seksual.
Selama lebih dari satu
dekade berlalu, terasa dan terlihat dengan jelas bagaimana media menjadi bagian
dari setiap bentuk perubahan, pencitraan hingga pembunuhan karakter.Media yang
kini bermetamorfosis dari ruang yang tak berjarak menjadi ruang dimana kita
hidup di dalamnya.Media tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga menjadi
agen produksi dan reproduksi realitas.Bertemali dengan hal ini, media telah
menjadi titik terjaga kritis kita untuk memahami bagaimana setiap sesuatu
dibentuk dan dimaknai.Demikian halnya jika disinggungkan dengan wacana
perempuan dimana media menjadi ruang-ruang produksi dan reproduksi citra dan
pemaknaan atas diri perempuan.
Terkait dengan hal itu,
maka tulisan ini akan melihat bagaimana wacana perempuan diproduksi dan direproduksi oleh media.
Wacana tersebut akan dilihat dari sudut padangan feminsime dalam hal ini
menggunakan analisis wacana kritis pandangan Sara Mills yang kental dengan
pemahaman feminismenya.Hal ini cukup menarik karena feminisme merupakan sebuah
gerakan yang mendapatkan ruh perjuangannya dari segala hal yang terkait dengan
perempuan sementara media menjadi tempat bertumbuhnya segala wacana, apakah
wacana tersebut berpihak kepada agenda perjuangan feminis atau malah
melanggengkan wacana yang anti feminis.
Sehubungan dengat topik
dalam tulisan ini, penulis memilih sebuah wacana dari media daring (Liputan 6
tanggal 6 Januari 2015) yang mengetengahkan berita sosok gadis jepang dengan
judul berita “Sebulan, Gadis Jepang Disekap dan Jadi Budak Seks”. Berita tersebut ditulis oleh Aitya Eka
Prawira, seorang kontributor liputan enam di New Delhi, India.Penulis
tergelitik untuk menyorot isi berita tersebut dengan pendekatan feminisme Sara
Mills karena (1) Kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, (2) Kasus
kekerasan terjadi di negara yang bukan negara korban, (3) Judul berita yang
menyematkan kata ‘disekap’ dan ‘budak’ yang memiliki muatan semantis yang lebih
dari sekedar bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan.
B.
Fokus
Tulisan
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka tulisan ini
akan membagi dua bagian penting pokok yang akan dikaji yakni yang pertama
adalah menguak bagaimana “gadis jepang” direpresentasikan dan yang kedua bagaimana
pembaca dan penulis ditampilkan menurut berita tersebut.
C.
Konsep
Teoritis
Secara
metodologis, teori wacana Sara Mills banyak mengadopsi pandangan Foucault.Mills
mengadopsi teori wacana Foucault sebagai ground teori dalam analisis wacana
kritis.Pendekatan Foucault ini yang dikenal dengan Analisis Wacana Pendekatan
Prancil (French Discourse Analysis). Sara Mills dikenal sebagai feminis
menunjukkan analisisnya yang menggambarkan relasi kekuasaan dengan ideologi. Jika
ditilik kembali pada pendekatan Foucault, ditemukan suatu pandangan yang menekankan
pada aspek kekuasaan yang disalurkan melalui hubungan sosial, dengan
memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi prilaku seperti baik dan buruk sebagai
bentuk pengendalian perilaku.
Sara
Mills melihat sebuah wacana pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Dalam
artian siapa yang menjadi subyek dari penceritaan dan siapa yang menjadi obyek
penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan makna diperlakukan
dalam teks secara keseluruhan (Darma: 2014).
Terkait
dengan posisi aktor dalam teks, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
subyek-obyek menempatkan representasi sebagai bagian terpenting.Dengan demikian
hal ini mengarah kepada bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan dan
peristiwa direpresentasikan dengan teknik tertentu dalam wacana dan
menghadirkan makna kepada publik.
Pergulatan
Sara Mills seputar teori wacana menjadikan wacana feminisme sebagai pusaran
kajiannya, Sara Mills menerabas isu-isu perempuan seperti bagaimana perempuan
ditampilkan dalam teks, gambar, foto serta dalam berita. Hal ini yang menjadi
dasar sehingga pendekatan teori wacana Sara Mills dikenal pula dengan wacana
persektif feminis.
Selain
memusatkan perhatian pada aktor dalam teks, Sara Mills juga menyorot aspek
pembaca dan penulis direpresentasikan. Keterkaitannya dengan wacana adalah
bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam alur teks.
Kondisi ini memengaruhi bagaimana teks akan dipahami dan menghasilkan suatu
keadaan dimana ada pihak yang dianggap legitimit dan ilegitimit (Darma, 2014).
Titik
perhatian dari wacana yang berspektif feminis adalah menunjukkan bagaimana teks
bias dalam menampilkan perempuan. Perempuan cenderung ditampilkan dalam teks
sebagai pihak yang salah dan marginal dibandingkan dengan laki-laki. Sara Mills
ingin mengunjukkan bagaimana perempuan digambarkan dan dimarginalisasikan dalam
teks berita, dan bagaimana bentuk dan pola permarginalan tersebut dilakukan.
Mills menambahkan bahwa teks merupakan suatu hasil negosisasi antara penulis
dan pembaca, dengan demikian maka pembaca tidak dianggap semata-mata sebagai
penerima teks atau informasi tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana
terihat dalam teks.
Secara
teknis, metode Sarah Mills dapat digambarkan dengan melihat bahwa pada tingkat
posisi subyek-obyek mengandung analisis mengenai bagaimana peristiwa dilihat,
dari sudut pandang apa peristiwa tersebut dilihat. Siapa yang diposisikan
sebagai pencerita (subyek) dan siapa yang diposisikan sebagai obyek yang
diceritakan. Apakah masing-masing aktor memiliki kesempatan menampilkan dirinya
sendiri, gagasannya atau kehadirannya, ditampilkan oleh kelompok atau orang
lain. Pada tingkat penulis-pembaca mengandung analisis berkaitan dengan
bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks.Bagaimana pembaca memposisikan
dirinya dalam teks yang ditampilkan dan kepada kelompok manakah pembaca
mengidentifikasi dirinya.
Terkait
dengan kajian wacana, maka kita tidak dapat terlepas dari media.Seringkali
istilah media dan berita digunakan secara bergantian ketika membicarakan
tentang wacana dan media.Menurut Cotter (2001) wacana media berita melingkupi
dua komponen penting yakni; berita, teks lisan atau tertulis; dan proses yang
terlibat dalam menghasilkan teks. Dimensi pertama dari teks tersebut telah
menjadi fokus utama dari kebanyakan peneliti media hingga hari ini, khususnya
sebagai teks yang mengkode nilai-nilai dan ideologi yang memberikan dampak dan
mencerminkan dunia yang lebih luas.Dimensi kedua adalah proses – yang
melibatkan norma-norma dan rutinitas masyarakat dari praktisi berita.
D.
Data
Sebulan, Gadis Jepang Ini
Disekap dan Jadi Budak Seks
Liputan6.com,
New Delhi -
Kekerasan seksual terus terjadi di India. Baru-baru ini, seorang turis
perempuan berusia 22 tahun asal Jepang dijadikan budak seks selama satu bulan
di ruang bawah tanah yang berada di dekat kuil Buddha yang cukup terkenal di
sana.
Kejadian nahas ini bermula saat pada November 2014. Perempuan muda itu tiba di Kolkata, ibu kota negara bagian Bengal Barat, dan mendapat `sambutan hangat` dari tiga orang pemuda lokal di sana.
Perempuan itu tak menaruh curiga saat ketiganya menawarkan tumpangan dan meminta uang senilai US$ 1.200 untuk membawanya pergi ke kuil suci Bodh Gaya di negara bagian Bihar, karena para pemuda itu faseh sekali berbahasa Jepang.
Tragis, sesampainya di lokasi tujuan, perempuan muda itu diserahkan ke dua pria yang diketahui kakak-beradik yang kemudian mengurungnya di ruangan bawah tanah, dan diperkosa berulang kali selama satu bulan.
Setelah satu bulan dijadikan budak seks, turis Jepang itu berhasil melarikan diri dari Gaya dan menuju kota suci Hindu Varanasi, di mana dia bertemu dengan sejumlah turis asal Jepang yang membantunya menghubungi konsulat di Kolkata.
"Ketika dia datang kepada kami dan mengetahui kejadian yang menimpahnya, kami membantu dia mendaftarkan laporannya ke pihak berwajib," kata Konsulat Jenderal Jepang di Kolkata, Kazumi Endo, seperti dikutip Business Insider, Selasa (6/1/2015)
Meski pada Jumat (2/1/2015) kedua kakak-beradik yang bekerja sebagai pemandu wisata dan juga tiga pria lainnya telah ditangkap pihak kepolisian Kolkata, namun keluarga mereka membantah kalau mereka ikut memerkosa turis Jepang tersebut. Maka itu, dia pun meminta untuk dilakukan visum terhadap korban.
"Kami juga ingin korban diperiksa secara medis, untuk membuktikan bahwa saudara-saudara saya tidak bersalah," kata pria yang diketahui bernama Samina Khatoon.
Kejadian nahas ini bermula saat pada November 2014. Perempuan muda itu tiba di Kolkata, ibu kota negara bagian Bengal Barat, dan mendapat `sambutan hangat` dari tiga orang pemuda lokal di sana.
Perempuan itu tak menaruh curiga saat ketiganya menawarkan tumpangan dan meminta uang senilai US$ 1.200 untuk membawanya pergi ke kuil suci Bodh Gaya di negara bagian Bihar, karena para pemuda itu faseh sekali berbahasa Jepang.
Tragis, sesampainya di lokasi tujuan, perempuan muda itu diserahkan ke dua pria yang diketahui kakak-beradik yang kemudian mengurungnya di ruangan bawah tanah, dan diperkosa berulang kali selama satu bulan.
Setelah satu bulan dijadikan budak seks, turis Jepang itu berhasil melarikan diri dari Gaya dan menuju kota suci Hindu Varanasi, di mana dia bertemu dengan sejumlah turis asal Jepang yang membantunya menghubungi konsulat di Kolkata.
"Ketika dia datang kepada kami dan mengetahui kejadian yang menimpahnya, kami membantu dia mendaftarkan laporannya ke pihak berwajib," kata Konsulat Jenderal Jepang di Kolkata, Kazumi Endo, seperti dikutip Business Insider, Selasa (6/1/2015)
Meski pada Jumat (2/1/2015) kedua kakak-beradik yang bekerja sebagai pemandu wisata dan juga tiga pria lainnya telah ditangkap pihak kepolisian Kolkata, namun keluarga mereka membantah kalau mereka ikut memerkosa turis Jepang tersebut. Maka itu, dia pun meminta untuk dilakukan visum terhadap korban.
"Kami juga ingin korban diperiksa secara medis, untuk membuktikan bahwa saudara-saudara saya tidak bersalah," kata pria yang diketahui bernama Samina Khatoon.
E.
Pembahasan
Pembahasan ini akan dimulai dengan menyorot judul
berita dengan memilih kata-kata tertentu yang memiliki beban semantis pada isi
berita selanjutnya. Kontributor memilih judul berita dengan menulis “Sebulan,
Gadis Jepang Ini Disekap dan Jadi Budak Seks.”Dari judul ini kami memilih tiga
kata yakni, sebulan, disekap dan budak.Dari strategi pemilihan kata yang
disematkan pada judul tergambar bagaimana aktor dipentaskan dalam berita dimana
semua diksi yang digunakan mengacu kepada korban (dalam hal ini perempuan dalam
berita tersebut).
Kata ‘sebulan’
menekankan pada jangka waktu atau durasi yang menggabarkan keadaan yang ingin
ditampilkan kontributor dari korban sebagai suatu masa yang relatif tidak
singkat untuk sebuah tindakan asusila.Penulis ingin menyampaikan suatu rentang
waktu yang menggabarkan siksaan fisik dan psikis yang begitu berat dan
lama.Jangka waktu ‘sebulan’ itu cukup menggugah kesadaran manusiawi kita
mengingat korban tersebut adalah turis dimana waktu yang digunakan oleh seorang
turis untuk berlibur biasanya dalam hitungan bulan.Dengan demikian jika waktu
‘sebulan’ dilewati dalam tindakan kekerasan maka waktu yang seharusnya dilalui
untuk mendapatkan kesenangan menjadi waktu yang tak terperikan pada turis
Jepang tersebut.
Penggunaan kata ‘disekap’ pada judul semakin menguatkan makna tindakan represif
mental dan fisik.Kata disekap ini memiliki hubungan kohesif dengan kata
‘sebulan’ dan ‘budak’.Frasa ‘budak seks’
menyulut makna yang dibebani oleh perilaku purba manusia pra-pradaban.Yang kami
maksudkan dengan perilaku purba adalah bahwa praktek-praktek perbudakan itu
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengenal penghargaan atas kehidupan orang
lain, kolonialisasi hingga berujung pada ketidakhormatan kelompok lain atas ras
tertentu.
Budak seks mengacu kepada perlakukan seksual
semena-mena terhadap lawan jenis kelamin yang dipenuhi dengan tindakan
represif, dehumanisasi, serta keyakinan bahwa korban yang dijadikan budak ini
tidak memiliki hak-hak yang sama dengan yang dimiliki oleh pelaku tindakan
perbudakan tersebut.Dengan demikian kata ‘sebulan, disekap, dan budak seks’
menjadi legalitas atas bentuk pelecehan seksual yang menjadikan gadis Jepang
ini sebagai korban yang divisualisasikan dari sudut pandang penulis.
Selanjutnya, aktor yang menjadi subyek dari berita
ini adalah “gadis Jepang’ sementara konteks berita adalah New Delhi, India.
Dari strategi wacana yang digunakan oleh penulis terlihat bahwa “Gadis Jepang”
ini yang menjadi obyek penceritaan, hal ini terbukti dengan penggunaan
pemarkah-pemarkah seperti: seorang turis
perempuan, dijadikan, perempuan (muda) itu, membawanya pergi, mengurungnya,
dia, dan turis Jepang tersebut.
Teks yang menjadi media berita ini bias dalam
menampilkan perempuan. Perempuan (gadis jepang) ditampilkan dalam teks sebagai
pihak yang salah dan memicu pandangan yang marginal. Hal ini terlihat pada
proses penggambaran yang dilakukan oleh penulis dalam teks teperti pada
kutipan:
“Perempuan itu tidak
mengaruh curiga saat ketiganya menawarkan tumpangan dan meminta uang senilai
US$ 1.200 untuk membawanya pergi ke kuil suci Bodh Gaya di negara bagian Bihar,
karena para pemuda itu fasih sekali berbahasa Jepang.”
Pada bagian ini, gadis Jepang tersebut dianggap
lemah dan bersalah karena telah mempercayai atau tidak menaruh curiga pada
orang yang baru dikenalnya apalagi ketiga orang tersebut (laki-laki) fasih
dalam berbahasa Jepang.Perempuan tersebut menganggap bahwa dengan kesamaan
bahasa yang digunakan maka dapat terjadi interaksi yang lebih bersahabat dan
jauh dari prasangka jahat. Dengan pemakaian bahasa yang sama, mengingat bahasa
mengandung ideologi dibaliknya, maka bahasa ini juga yang digunakan untuk
melemahkan posisi perempuan dalam kasus ini untuk membuat pencitraan yang baik
didepan gadis perempuan itu.
Bukti lain yang menjadi
ciri bahwa perempuan dalam berita ini sebagai obyek penceritaan dapat kita amati
pada kutipan berita paragraf 6 yaitu:
"Ketika dia
datang kepada kami dan mengetahui kejadian yang menimpahnya, kami membantu dia
mendaftarkan laporannya ke pihak berwajib," kata Konsulat Jenderal Jepang
di Kolkata, Kazumi Endo, seperti dikutip Business Insider,
Selasa (6/1/2015).
Pesan inti pada kutipan diatas merujuk kepada
paragraph sebelumnya, yakni paragraph 5. Paragraph 6 merupakan
informasi yang terjadi pada peristiwa yang diceritakan pada paragraph lima oleh
korban namun untuk mengetahui peristiwa tersebut dimunculkan aktor lain, bukan
korban sendiri yang memaparkan pandangannya atas apa yang dialaminya.
Sampai pada bagian ini dapat ditemukan bahwa teks
yang diproduksi melalui paragraph pada berita yang digunakan sebagai contoh ini
sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada obyek (korban) tindak kekerasan
seksual untuk menampilkan diri dan gagasannya dalam teks/berita. Semua alur
peristiwa dilakukan oleh subyek (pencerita/penulis) untuk merepresentasikan
obyek dalam berita itu.
Pada bagian akhir ditemukan bahwa bukti kejahatan
seksual ternyata tidak cukup dengan hadirnya korban yang melapor, namun
diperlukan bukti lain berupa hasil visum untuk membuktikan suatu bentuk
kejahatan pada sebuah peristiwa. Mari kita lihat pada pargaraf terkahir dari
berita tesebut terdapat kalimat:
"Kami juga ingin
korban diperiksa secara medis, untuk membuktikan bahwa saudara-saudara saya
tidak bersalah,"
Dari kalimat ini terlihat bentuk perspektif yang melemahkah
posisi perempuan bahwa meskipun sudah terdapat bukti tindak kekerasan seksual
yakni korban dan pelaku, diperkuat oleh laporan dan testimoni korban, namun
harus dibuktikan secara medis dan yang terpenting adalah membuktikan bahwa para
tersangka tersebut tidak bersalah.
Dengan melihat pada keseluruhan bagunan wacana
dalam berita ini, maka posisi penulis merupakan subyek (pencerita) pada berita
ini sementara posisi pembaca tidak disertakan atau ekslusif, dimana tidak
ditemukan hal-hal atau data yang mendukung keterlibatan pembaca dalam teks yang
dihasilkan.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, maka
penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa
teks mengalami bias dalam merepresentasikan perempuan dalam teks berita daring
“Sebulan, Gadis Jepang Ini disekap dan jadi Budak Seks.”
2. Marginalisasi
perempuan terwujud dalam bentuk pelemahan posisi perempuan misalnya, ketika
perempuan bepergian sendirian, diperlakukan dengan ramah (pada awalnya) dan
penggunaan bahasa yang sama.
3. Tindak
kekerasan terhadap perempuan menjadi agenda gerakan feminis yang bertujuan
untuk meningkatkan rasa aman terhadap perempuan itu
sendiri.
Referensi
Anshori,
S. Dadang (Ed). 1997. Membincangkan Feminisme. Pustaka Hidayah. Bandung
Darma,
Yoce Aliah. 2014. Analisis Wacana Kritis. Refika Aditama. Bandung.
Ibrahim,
Abdul Syukur (Ed). 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Pustaka
Pelajar.Yogyakarta.
Illich,
Ivan. 2007. Matinya Gender. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sadli,
Saparinah. 2010. Berbeda tetapi Setara. Kompas Media Nusantara. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar