Senin, 09 Maret 2015

REFLEKSI AWK NILA PUSPITASARI 1-4



ANALISIS WACANA KRITIS
(Kumpulan Refleksi)



OLEH:      NILA PUSPITA SARI
                P0500214006




REFLEKSI I (Senin, 9 Februari 2015)
Analisis wacana kritis merupakan hal baru dalam bidang linguistik yang diperkenalkan semester ini. Awalnya mendengar kata wacana, pemikiran awal hanya menyangkut arti kata wacana itu sendiri yang sering diungkap dimedia, baik cetak maupun elektronik dimana berdasarkan konteksnya dimaknai sebagai issue, seperti pada penggalan kalimat “penahanan Mandra sebagai tersangka oleh pihak kepolisisn bukanlah hanya sekedar wacana. Namun, bila merujuk pada KBBI 2008, makna wacana tersebut tidak termasuk salah satu dari kelima makna wacana yang tertera dalam KBBI. Oleh sebab itu, perlu kembali melihat makna sebenarnya dari wacana tersebut.
Dalam kaca mata linguistik, secara sederhana wacana dimaknai sebagai unit analisis akhir yang lebih kompleks dari kalimat, dimana wacana juga merupakan bagian dari unsur-unsur kebahasaan. Ada beberapa istilah wacana yang coba dikemukakan oleh para ilmuwan, yang salah satunya ialah J.S Badudu, mendefinisikan wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan dengan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga membentuk makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu. Selanjutnya, wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan keherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, yang disampaikan secara lisan maupun tertulis.
Berdasarkan pemahaman tersebut, pemahaman tentang wacana tidak terbatas hanya pada pandangan yang sempit mengenai wacana sebagai unit tertinggi dalam sintaksis karena didalamnya terdapat unsur-unsur yang membangunnya. Dalam hal ini, berdasarkan definisi di atas dimana wacana mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, menjelaskan bahwa ada sesuatu yang membangun wacana itu sehingga mampu menciptakan sebuah efek. Selain itu, bentuknya yang lisan maupun tertulis juga mengindikasikan bahwa bentuk konstruksi bahasa lengkap seperti pidato serta berita yang disampaikan secara lisan juga dapat dianalisis. Empat keahlian utama dalam linguistik yakni fonologi, morfologi, sintaksis serta semantik, memiliki ruang lingkup analisis hanya sebatas pada konstruksi kalimat sebagai bagian yang tertinggi serta makna yang terkandung didalamnya. Analisis wacana sebagai bagian yang lebih kompleks juga menganalisis keempat skill tersebut beserta elemen lain yang membentuknya.
 Oleh sebab itu, pemahaman lebih lanjut mengenai wacana, termasuk didalamnya  jenis-jenis wacana harus dipelajari lebih dalam. Pemahaman mengenai jenis-jenis wacana tentunya akan mempermudah analisis sebuah wacana. Menganalisis wacana dapat dimulai dengan bentuk wacana yang paling mudah serta membuat analisis yang masih ringan, dalam hal ini hanya menganalisis koherensi dan kohesi dalam sebuah wacana serta proses yang terkadnung didalamnya kaitannya dengan jenis wacana. Pemahaman awal tersebut akan mengantarkan kita pada analisis yang lebih kompleks, yakni analisis wacana kritis, dimana unit-unit analisisnya pun lebih kompleks.




  
 REFLEKSI II (Senin, 16 Februari 2015)
Pemahaman tentang wacana telah dipaparkan sebelumnya, dimana wacana merupakan unit analisis terbesar dalam kajian bahasa, dengan koherensi dan kohesi yang sangat kompleks dan berkesinambungan. Alat untuk menganalisinyalah yang dikenal dengan istilah analisis wacana. Namun, peristilahan tersebut tidak hanya sampai disitu, dimana isilahnya kemudian dilengkapi dengan paradigma kata kritis. Selain itu, hal yang kemudian mengganjal sehubugan dengan kata kritis tersebut adalah istilah linguistik kritis yang juga menyandang istilah kritis. Keduanya merupakan bagian dari kajian ilmu bahasa. Pertanyaan besarpun muncul sehubungan dengan perbedaan diantara keduanya.
Istilah wacana yang telah dpahami sebelumnya kini dilekati oleh perspektif kritis yang berlawanan dengan linguistik kritis. Salah satu ahli, yakni Crytal (1991:90) mendefinisikan linguistik kritis sebagai kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkapkan relasi-relasi kuasa tersembunyi (hidden power) dan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks berbentuk tulisan maupun lisan. Berdasarkan definisi tersebut, linguistik kritis mengkaji aspek kebahasaan dalam sebuah teks yang disampaikan secara lisan maupun tulisan. Dalam hal ini, linguistik kritis hanya menganalisa sebuah teks dari segi ilmu bahasanya saja. Selanjutnya, dengan definisi yang berbeda, analisis wacana kritis merupakan salah satu unit kebahasaan yang tidak hanya mengkaji bahasa meskipun juga berbentuk teks seperti halnya kajian linguistik kritis, namun juga menghubungkannya dengan ideologi serta konteks, dimana hasil akhir dalam kajian analisis wacana kritis ialah bagaimana sebuah teks diproduksi menyesuaikan dengan konteksnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini, yang digadang-gadang sebagai era politikus, wacana sangatlah menarik untuk dikaji dalam analisis wacana kritis. Mengapa demikian dikarenakan produksi sebuah teks tidak hanya semata-mata berdasarkan pengetahuan seorang penulis, melainkan banyak faktor lain yang berada dibelakang layar dari sebuah produksi wacana. Hal ini dipengaruhi oleh penyaluran wacana melalui sebuah media. Media inilah yang kemudian memengaruhi hasil akhir dari sebuah produksi wacana. Keadaan tersebut bukan lagi merupakan hal yang tabu, dimana produksi wacana baik lisan maupun tulisan sangat kental dipengaruhi oleh kekuasaan. Kekuasaan dalam hal ini dapat dimaknai dari beberapa sudut pandang, seperti siapa yang memiliki media, siapa yang sedang berkuasa serta siapa saja yang mendukung penguasa.
Fenomena tersebut menggambarkan dalam mengkaji sebuah teks/wacana, analisis wacana kritis merupakan alat yang sanga akurat dan lebih menantang, dimana kajiannya tidak hanya fokus pada unsur kebahasaan melainkan hal-hal yang melatarbelakangi teks tersebut. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahasa tidak lagi pada porsinya sebagai alat komunikasi yang sesungguhnya, namun juga merupakan “jembatan” dalam praktik-paraktik negatif oleh para penguasa. Praktik negatif disini mengacu pada realitas para koruptor yang menggunakan permainan bahasa dalam membuat pencitraan. Selain itu, permainan bahasa juga digunakan untuk berkomunikasi sehubungan dengan hal-hal yang sifatnya rahasia. Hal inilah yang menuntut para linguis dewasa ini untuk lebih krtitis pula dalam menganalisis bahasa. Dengan demikian, analisis wacana kritis menjadi salah satu pilihan “alat” dalam mengkaji teks dengan unsur pembentuk yang lebih kompleks serta analisis ataupun pendekatan yang beragam.




REFLEKSI III (Senin, 23 Februari 2015)
Pada minggu keempat perkuliahan (Senin, 23 Maret 2015), perkuliahan analisis wacana kritis tidak diisi oleh diskusi kelompok seperti biasanya berhubung dosen pemgampu mata kuliah tersebut berhalangan hadir. Perkuliahan pada hari itu seharusnya diisi oleh diskusi kelompok saya bersama teman (Sitti Umi Salamah) yang akan memaparkan materi dengan topik analisis wacana kritis (tokoh, ideologi dan konteks sosial). Namun, diskusi tersebut harus diundur hingga minggu depan karena dosen berhalangan hadir. Sebenarnya, makalah kelompok kami sudah rampung pada minggu sebelumnya, dengan kata lain kami telah siap presentasi makalah. Namun karena keadaan tersebut presentasi harus ditunda.
Satu hal yang menguntungkan bagi kelompok kami dengan kejadian tersebut adalah bahwa kami dapat kembali merevisi materi yang akan disampaikan dalam diskusi nantinya. Dan benar saja, masih terdapat banyak hal yang harus diperbaiki sehubungan dengan makalah maupun tampilan slide dalam program Power Point. Oleh karena itu kelompok kami terus berdiskusi  kembali membahas perampungan materi tersebut hingga sehari sebelum penampilan kelompok kami. Meskipun diskusi antara kami tidak cukup rutin (setiap hari) karena adanya rutinitas lain, paling tidak dalam seminggu sebelumnya, kami saling mengontak beberapa kali untuk membahasnya. Pada akhirnya, kami mencapai perasaan puas dan siap atas pekerjaan kami dalam penilaian kami sendiri.
Sehubungan hal tersebut, saya menyadari serta mempelajari satu hal dalam pembuatan sebuah karya tulis bahwa untuk mencapai kata “puas” dan “siap” sangat perlu melakukan revisi hingga berulang kali. Revisi dalam hal ini bisa dalam pengertian mengubah bentuk secara keseluruhan ataupun hanya memperbaiki kekurangan dari hasil yang sebelumnya. Hal tersebut sangat penting, selain untuk lebih memahami apa yang sedang ditulis juga lebih memantapkan hati serta tulisan bahwa inilah hasil terbaik yang telah saya lakukan. Telah dibuktikan bahwa, dalam melakukan revisi, akan sangat banyak hal yang harus diperbaiki dimana pada awalnya banyak yang sudah mengira hasil sebelumnya telah sempurna karena juga melalui proses dalam pembuatannya. Hal tersebut memang benar, namun sesuai pengalaman serta petunjuk menulis sebuah karya tulis dari sebuah sumber, revisi merupakan hal yang patut dilakukan untuk tidak hanya merasa sempurna namun juga memperoleh “kesempurnaan kuadrat”.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, revisi merupakan hal yang sangat perlu untuk dilakukan dalam menghasilkan sebuah karya tulis untuk mencapai “kesempurnaan kuadrat”. Sempurna dalam hal ini tidaklah bermakna bahwa karya kitalah yang terbaik, namun rasa puas yang tidak bisa tergambarkan karena telah menghasilkan yang terbaik. Hal ini mempertimbangkan bahwa dalam sebuah karya juga sangat perlu melihat penilaian orang lain. Oleh sebab itu, merevisi sebuah hasil tulisan maupun karya lainnya sangat vital dilakukan, selain untuk memperoleh hasil yang memuaskan juga lebih mempertajam ingatan akan materi yang sedang direvisi.




REFLEKSI IV (Senin, 2 Maret 2015)
Analisis wacana kritis sebagai alat mengkaji bahasa hubungannya dengan konteks sebagai hasil analisis tentu memerlukan elemen atau unit-unit analisinya. Banyak ahli yang menawarkan unit-unit analisis dalam analisis wacana kritis yang kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh analisis wacana kritis (AWK). Beberapa tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan analisis wacana kritis yakni: Micahel Foucault, yang analisisnya menghubungkan antara wacana dengan kekuasaan serta ideologi; Roger Fowler dkk, yang analisisnya menekankan pada konstruksi kata ataupun struktur kalimat yang membangun sebuah wacana; Theo Van Leeuwen, yang menekankan pada proses keluaran maupun masukan dalam sebuah wacana. Selain itu, ada pula Sara Mills yang menekankan analisis wacana pada proses produksinya; Theun Van Dijk, yang menganalisis wacana berdasarkan tiga dimensi analisis (teks, kognisi sosial serta konteks) dan Norman Fairlough yang menganalisis wacana juga berdasarkan tiga dimensi analisis (teks, discursive practice dan sociocultural practice). Disamping para tokohnya, analisis wacana kritis juga erat kaitannya dengan istilah ideologi dan konteks sosial, dimana ideologi berhubungan dengan ideologi individu (penulis/media produksi wacana) maupun kelompok, dalam hal ini masyarakat serta konteks sosial yang berhubungan dengan kontekas yang mempengaruhi isi wacana.
Dalam pemahaman yang berbeda, para ahli menawarkan unit-unit yang bisa digunakan dalam menganalisis sebuah wacana. Salah satu analaisis yang paling banyak digunakan dalam menganalisis wacana adalah unit analisis Van Dijk yang menekankan analisis pada teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Jadi, dimensi analisisnya meliputi wacana sebagai teks dihubungkan dengan kognisi sosial penulis serta konteks yang melatarbelakangi produksi teks. Dalam unit analisis Van Dijk secara detail ketiga dimensi tersebut dijabarkan unsur-unsur analisisnya, seperti dalam halnya teks terdiri dari unsur sintaksis serta semantis. Kedua unsur tersebut juga diterangkan secara detail bagian mana dari wacana yang termasuk dalam unsur tersebut. Sehingga dugaan sementara bahwa banyak orang mengannggap analisis Van Dijk inilah yang paling mudah. Selain itu, Van Dijk juga merupakan salah satu tokoh yang juga melihat ideologi dalam analisis wacana. Ideologi dalam pemahaman Van Dijk berhubungan dengan elemen makro sebuah wacana yakni struktur sosial yang digambarkan bahwa bagaimana sebuah teks dihasilkan berdasarkan kepercayaan yang ada masyarakat sebagai pijakan akan jenis teks yang akan dihasilkan.
Selain alasan tersebut, alat analisis Van Dijk sesuai dengan bentuk wacana yang berkembang dewasa ini, dimana wacana bukan hanya sebagai unit kebahasaan yang sanagt kompleks namun juga sarat dengan istilah praktik ideologi dan praktik sosial yang mempengaruhi produksi wacana. Berdasarkan gambaran tersebut sangatlah mudah menganalisis sebuah wacana dalam perspektif wacana kritis menggunakan unit analisis yang memberikan gambaran secara detail sehingga memudahkan para peneliti dalam melakukan analisis. Pernyataan tersebut bukan mengarah pada pemaksaan untuk menggunakan analisis Van Dijk melainkan sebuah gambaran semata untuk para peneliti agar lebih cakap memilih unit analisis yang sangat dipahami oleh masing-masing individu sehingga memudahkan para peneliti untuk melalukan penelitian dalam bidang analisis wacana kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar